Pengaruh Aspek Psikopedagogik dalam Sastra Anak
Arifah Primadiaty T.
PENDAHULUAN
Rentang kehidupan manusia dibagi ke dalam beberapa tahapan. Dimulai dengan
periode pranatal, masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa
usia pertengahan, hingga berakhir pada masa lanjut usia. Pembagian tahapan ini
didasari bentuk-bentuk perkembangan dan pola perilaku yang khas bagi usia tertentu. Setiap individu melalui satu periode dan kemudian berkembang menuju periode sesudahnya.
Perkembangan yang ditandai dengan perubahan tersebut menuntut kesadaran individu atas perubahan yang terjadi pada dirinya, sehingga dia mampu bersikap dengan jelas terhadap perubahan-perubahan tersebut. Perkembangan dalam hal ini merupakan serangkaian perubahan progresif sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.
Sebuah fakta penting yang harus diketahui dalam kaitannya dengan perkembangan individu adalah bahwa setiap tahapan perkembangan memiliki pola perilaku yang khas. Pola tersebut ditandai dengan periode equilibrium, yaitu periode ketika individu dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan dan kemudian berhasil membuat penyesuaian diri dan penyesuaian sosial yang baik. Periode ini kemudian diikuti oleh periode disequilibrium, yaitu periode ketika individu mengalami kesulitan penyesuaian yang menimbulkan penyesuaian diri dan sosial yang buruk. Kedua periode tersebut terdapat dalam semua tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dijalani atau dilalui. Tugas perkembangan mengisyaratkan tiga macam tujuan yang berguna, yaitu :
§ Sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat.
§ Sebagai motivasi untuk melakukan apa yang diharapkan oleh kelompok social.
§ Sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang akan mereka hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dari mereka (Hurlock, 1989 : 9).
PEMBAHASAN
Perkembangan masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku individu. Hal ini menyebabkan banyak tekanan yang mengganggu mereka. Kesulitan dalam penerimaan diri, bila keadaan fisik tidak sesuai dengan keinginan menuntut suatu konsep diri yang berbeda serta pengetahuan cara memperbaiki penampilan diri. Selain itu peran seks memerlukan penyesuaian diri selama bertahun-tahun serta kesadaran untuk menerima peran tersebut. Kesadaran akan peran seks berhubungan dengan situasi baru di mana para remaja harus mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis untuk mengetahui siapa mereka serta bagaimana harus bergaul dengan mereka. Sulitnya mengembangkan hubungan baru yang matang dengan lawan jenis kemudian akan menimbulkan masalah dan menuntut penyesuaian diri.
Penyesuaian diri juga harus dilakukan dalam kaitannya dengan kemandirian emosional yang diinginkan remaja. Di satu sisi mereka ingin mandiri, namun di sisi lain mereka masih mengharapkan rasa aman yang dapat mereka peroleh dari ketergantungan emosi pada orang tua atau orang dewasa lainnya. Di sini terlihat betapa peran orang tua sangat penting untuk membantu dan membimbing remaja dalam memahami dirinya serta dalam menghadapi perubahan yang terjadi selama tahapan peralihan ini. Selain orang tua, sekolah adalah pihak yang berperan penting karena sekolah berfungsi untuk membantu perkembangan keterampilan intelektual dan konsep yang penting bagi kecakapan sosial. Selain itu, sekolah juga membentuk nilai-nilai yang sesuai dengan nilai-nilai dewasa yang berlaku, misalnya nilai-nilai tanggung jawab.
Masa remaja juga ditandai dengan perubahan-perubahan besar dan sangat berarti dalam diri individu, yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik, emosi, sosial, dan intelektual. Secara garis besar Elizabeth Hurlock membagi perubahan tersebut menjadi lima perubahan universal, yaitu :
§ Meningginya emosi dengan intensitas yang bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.
§ Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial yang kemudian menimbulkan masalah baru bagi remaja.
§ Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan pada nilai-nilai yang dianut.
§ Sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, sekaligus takut akan tanggung jawab dan ragu akan kemampuan mereka untuk mengatasi tanggung jawab tersebut (Hurlock, 1989 : 208).
Perubahan-perubahan yang terjadi selama periode negatif tersebut melahirkan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, tidak dapat dipercaya, dan cenderung merusak dan berperilaku merusak. Stereotip ini sangat mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri dan membuat proses peralihan ke masa dewasa menjadi sulit bagi si remaja. Hal ini dipersulit dengan banyaknya tekanan moral dan kultur yang bertentangan.
Masalah remaja dan pencarian identitas diri ini sering menjadi tema menarik untuk dibahas. Banyak penelitian telah dilakukan, misalnya dalam bidang psikologi, sosial, pendidikan, dan sastra. Mengapa sastra? Karena sastra adalah gambaran dari masyarakat, kehidupan, dan seluruh permasalahannya. Dengan sifat mimetisnya, sebuah karya sastra memotret manusia dan kehidupannya untuk kemudian dipahami oleh pembacanya sebagai upaya untuk memahami manusia dan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pandangan Horatius bahwa sastra harus bertujuan dan berfungsi utile et dulce (bermanfaat dan indah). Bermanfaat karena pembaca dapat menarik pelajaran yang berharga dalam membaca karya sastra, yang mungkin bisa menjadi pegangan hidupnya karena mengungkapkan nilai-nilai luhur.
Mungkin juga karya sastra mengisahkan hal-hal yang tidak terpuji, namun pembaca masih bisa menarik pelajaran, sebab dalam membaca dan menyimak karya sastra pembaca dapat ingat dan sadar untuk tidak berbuat demikian. Selain itu, sastra harus bisa memberi nikmat melalui keindahan isi dan keindahan bahasanya (Pradotokusumo, 2005 : 6). Berkat keindahannya, karya sastra dianggap menampilkan kualitas estetis yang paling beragam sekaligus paling tinggi.
Aspek estetis karya sastra dihasilkan oleh keragaman genre yang bersifat dinamis, ketakterbatasan cerita yang dihasilkan yang tergantung pada kemampuan pengarang dan pembaca untuk menciptakan dan menafsirkannya, serta bahasa sebagai medium karya sastra yang memiliki kemampuan untuk berkembang secara tak terbatas, yang tergantung pada kemampuan imajinasi pembaca (Ratna, 2007 : 289 - 290).
Aspek estetis akan tampak bila pembaca mampu melihat dan menikmatinya. Kepekaan pembaca akan membuat kehidupan ini penuh makna, akan melihat betapa setiap ciptaan Tuhan berfungsi. Tugas manusialah untuk memanfaatkan semua itu. Sebaliknya tanpa kemampuan untuk melihat keindahan, semua hal menjadi tak bermakna, sehingga hidup menjadi hampa. Estetika mempengaruhi manusia melalui kesadaran total proses psikologis. Mencermati pentingnya estetika dalam kehidupan manusia, maka Mukarovsky (Ratna, 2007 : 291) menyebutkan tiga fungsi, yaitu :
§ Membangkitkan rasa bahagia, tenteram, dan damai
§ Mendominasi pusat perhatian pada saat tertentu, sekaligus mengabaikan perhatian lain yang pada saat itu tidak diperlukan
§ Mengganti fungsi lain yang sudah usang
Ketika berbicara aspek estetis, maka terlihat bahwa pembaca memiliki peran yang penting. Aliran postrukturalisme memberikan kedudukan terhormat kepada pembaca, sehingga pembaca seolah-olah menjadi penulis (writterly). Hal ini menjadi dasar bagi perkembangan estetika resepsi, yaitu aspek-aspek keindahan yang timbul sebagai akibat pertemuan antara karya sastra dengan pembaca. Sebuah karya sastra mempertemukan aspek estetika dengan etika. Dengan kekuatan aspek estetis, aspek etis secara tidak langsung masuk di dalamnya.
Sebuah karya sastra memuat nasihat, teladan, pendidikan, dan pengajaran, yang kesemuanya disampaikan secara tidak langsung. Untuk memanipulasi ciri-ciri etis suatu karya sastra, bahasa berperan penting. Penggunaan metafora, makna konotatif, dan aspek stilistika membuat pembaca melihat aturan dan norma semata sebagai keindahan. Dengan kekuatan bahasa, karya sastra dianggap lebih mampu mengubah tingkah laku manusia dibandingkan hukum formal.
Keindahan sastra diharapkan dapat mengarahkan manusia untuk berperilaku estetis, sehingga kehadirannya akan memperoleh makna yang positif dalam masyarakat. Karya sastra harus berfungsi membangun kehidupan sosial, menciptakan energi baru, serta melahirkan pola dan struktur yang baru. Jadi sastra dan keindahannya akan memberikan manfaat kepada umat manusia. Manfaat sastra tidak hanya dapat dirasakan oleh orang dewasa, namun juga
oleh anak-anak. Manfaat pertama yang dirasakan oleh anak-anak adalah kesenangan. Namun, lebih jauh lagi, mereka dapat memperoleh manfaat lain, yaitu :
§ Karya sastra adalah sumber utama untuk mengenali warisan kesusastraan dari generasi ke generasi.
§ Dengan memahami dan menikmati karya sastra, maka sastra berperan dalam pemahaman dan penilaian terhadap warisan budaya.
§ Pengembangan perilaku positif terhadap budaya sendiri sekaligus budaya lain yang sangat penting bagi perkembangan sosial dan personal. Karya sastra membangun pemahaman dan pengertian antarbudaya.
§ Melalui karya sastra anak-anak melihat bagaimana tokoh menangani masalah yang dihadapi. Proses identifikasi dengan tokoh membuat mereka kemudian akan dapat mengatasi masalahnya sendiri. Selain itu mereka juga akan memahami perasaan orang lain.
§ Karya sastra merupakan pintu menuju pengetahuan dan pengembangan minat.
§ Karya sastra memperkaya dan memperluas imajinasi, sekaligus estetika.
§ Karya sastra membantu perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan kepribadian, dan perkembangan sosial anak. (Norton, 1983 : 5)
Ketika timbul kesadaran bahwa anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa, maka mereka memerlukan karya sastra yang khusus diperuntukkan bagi mereka. Kemudian sebuah genre sastra baru mulai dikenal, yaitu sastra anak (Children’s literature, littérature de jeunesse). Hunt (Nurgiyantoro, 2005 : 8) mendefinisikan sastra anak sebagai buku bacaan yang dibaca oleh, yang secara khusus cocok untuk, dan yang secara khusus pula memuaskan sekelompok anggota yang kini disebut anak.
Jadi sastra anak adalah buku bacaan yang sengaja ditulis untuk dibaca anak-anak. Isi buku tersebut harus sesuai dengan minat dan dunia anak-anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosional dan intelektual anak, sehingga dapat memuaskan mereka. Salah satu jenis sastra anak yang dikenal adalah bildungsroman (dalam bahasa Perancis dikenal dengan sebutan roman de formation) yang lahir di Jerman pada masa sastrawan besar Johann Wolfgang von Goethe. Bildungsroman memiliki tema perjalanan evolutif tokoh utama dalam menjadi manusia yang ideal dan berpengetahuan luas.
Tokoh protagonis melalui suatu proses evolusi dan pada saat yang sama harus berhadapan dengan dunia dan permasalahannya. Tokoh yang masih muda, naif, dan penuh dengan idealisme harus menghadapi dunia nyata yang berbeda dengan yang dibayangkannya. Hal ini kemudian menimbulkan pertentangan antara jiwa yang idealis dengan kenyataan yang berlawanan. Sebagai konsekuensinya muncullah ketidakpahaman dan penolakan baik dari si tokoh maupun dari lingkungannya. Dari sini terjadi proses evolutif dan edukatif di mana tokoh memperoleh pengalaman konkret yang akan membuatknya dewasa dan matang. Perjalanan protagonis pada umumnya berakhir dengan keadaan yang harmonis dan seimbang
dengan dunia sekitarnya. Tokoh utama akhirnya dapat berdamai dengan dunia dan menemukan tempatnya, sehingga dia menjadi bagian dari dunia yang dahulu ditolaknya.
Dalam genre bildungsroman, konsep formasi atau pendidikan memegang peranan penting. Proses formasi atau pendidikan ini tidak hanya terjadi dalam dunia tokoh cerita, melainkan juga, diharapkan, terjadi pada diri pembacanya. Dari uraian di atas terlihat bahwa karya sastra memiliki muatan pendidikan, dan sebaliknya, dunia pendidikan juga memerlukan sastra sebagai wahana pendidikan. Jadi, pendidikan dan sastra merupakan dua aspek yang saling menunjang. Oleh karena itu, pengajaran sastra di institusi pendidikan tidaklah dapat dipandang remeh. Melalui pengajaran sastra, sesungguhnya kita telah dibawa ke tingkat manusia terdidik, yaitu manusia yang mampu berpikir tentang hidup, pandai memahami rahasia hidup, menghayati kehidupan dengan arif, dan mempertajam pengalaman-pengalaman baru. Melalui pengajaran sastra pula, peserta didik akan mampu memahami diri secara individu dan kelompok, sehingga akan menjadi manusia yang utuh, bermental baik, dan humanis (Endraswara, 2005 : 53).
KESIMPULAN
Jadi pengajaran sastra melibatkan pendidikan kejiwaan sekaligus kemanusiaan. Pengajaran sastra seharusnya bertumpu pada pembinaan apresiasi, sehingga peserta didik akan mampu menerima, memahami, menghayati, merespon, dan mereaksi karya sastra. Pada akhirnya mereka akan mampu menginterpretasikan sastra atas dasar pengalamannya. Untuk sampai pada kemampuan apresiatif, diperlukan beberapa langkah, yaitu :
§ Keterlibatan jiwa. Melalui perasaan empati dan simpati terhadap karya sastra, pembaca akan mampu menginternalisasi tokoh, peristiwa, dan karakter sesuai dengan pengalaman pribadinya.
§ Penghayatan sejati terhadap karya sastra dengan memasuki cipta sastra secara inten, menikmatinya dengan kedalaman jiwa dan imajinasi.
§ Pengimplentasian pengalaman yang ada dalam karya sastra dengan kehidupan nyata, sehingga sebuah karya sastra menjadi bermakna dan kontekstual (Endraswara, 2005 : 78 -79).
Sebagai jalur penting dalam pengajaran sastra, Loban (Endraswara, 2005 : 103) mengemukakan bahwa apresiasi harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu :
§ Apresiasi sastra harus mampu berpengaruh pada kejiwaan individu
§ Individu mampu merespon pada karya yang sedang dinikmati, baik secara emosional maupun secara intelektual
§ Kegunaan sastra sampai pada lahirnya pemahaman diri sendiri.
§ Karya sastra harus memberikan imajinasi yang mampu menghadirkan pengalaman sastra yang menakjubkan.
§ Kapasitas sastra dalam menyerap pikiran dan emosi akan menyadarkan pembacanya ke arah hidup yang sejati.
Aspek apresiatif mengarahkan kita pada pemahaman bahwa pengajaran sastra seharusnya mengarah pada aspek pragmatis, yaitu kegunaan atau fungsi sastra bagi peserta didik. Terdapat dua fungsi pokok pengajaran sastra, yaitu: pemerolehan kompetensi pada tataran pengalaman yang akan memungkinkan peserta didik mengakses berbagai hal lewat pembacaan karya sastra, dan pemerolehan gambaran dan penjelasan secara luas dari pengalaman itu sendiri.
readmore »»