Senin, 23 Mei 2011

Kembali

.
0 komentar

Kembali

oleh Chie Ipeh Chikanatsu pada 02 Juni 2010 jam 23:22

Akhirnya kau kembali..
Disaat aku benar-benar merindukanmu..
Akhirnya ku lihat senyum itu lagi..
Senyum yang selama ini kudambakan darimu..
Ku bahagia..
Melihatmu, Mendengar suaramu, Bercanda denganmu..
Ku Candu..
Ingin Ku alami lagi masa itu..

Tau kah kau..
Betapa bahagianya aku saat itu..
Walau hanya sekejap..
Tapi mampu mengobati pilu dihatiku..

Maafkan Aku..
YAng pernah mengacuhkan perasaanmu..
Bukan maksud hati begitu..
Ku hanya takut sakit bila kehilanganmu..

Tapi Kau sedikit Berubah..
Senyum Mu tak seperti dulu..
Senyum tulus yang meluluhkan hatiku..
Walau tak sepenuhnya berubah senyum itu..
Tapi terlihat sekilas kau mengacuhkanku..

Ku bingung dengan sikapmu..
Tak ada keteguhan Ku lihat..
Kau seakan tak peduli..
Bila melihatku dengan yang lain..

Apakah itu pertanda..
Bahwa serpihan hatimu telah membeku..
Tak adakah lagi Cinta untuk Ku..
Apa Karna tlah kau temukan Cinta yang baru..
Atau, Kau Ingin Ku temukan Cinta darinya..

Tuhan tolong..
Izinkan aku tuk..
Cairkan hatinya yang tlah beku..
Agar dapat..
Ku Isi kembali dengan Cinta tulus..

readmore »»

I don't Wanna Miss a Thing

.
0 komentar

I don't Wanna Miss a Thing

oleh Chie Ipeh Chikanatsu pada 13 Desember 2010 jam 22:53

Mencoba tetap berdiri tanpamu..
Hanya berteguh pada kenangan masa lalu..
Tak pernah sedikitpun terlewatkan..
Ingatan akan Kisah indah yang kau beri padaku dulu..

Hidup dalam harapan..
Harapan akan kebersamaan..
Hal itu tak pernah hilang..
Walau kau tak kunjung datang..

Seakan mati rasa..
Tak bisa merasakan tulusnya cinta..
Hati yang kesepian..
Karna terkunci rapat sejak kau tinggalkan..

Sekarang ku bisa melihatmu..
Ku bisa merasakan hangat tubuhmu..
Namun ternyata ku hanya bermimpi..
Ku hanya dipermainkan oleh khayalan ku sendiri..

Ku tak ingin menutup mata..
Ku tak ingin terlelap..
Karna ku kan kehilangan mu..
Dan ku tak ingin kehilangan mu lagi..

readmore »»

Bahasa, Pikiran, dan Representasi

.
0 komentar

BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia.

Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Surya Sumantri, 1998).

Materi bahasa bisa dipahami melalui Linguistik sebagaimana dikemukakan oleh Yudibrata bahwa linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa, biasanya menghasilkan teori-teori bahasa; tidak demikian halnya dengan siswa sebagai pembelajar bahasa, (1998: 2). Siswa sebagai organisme dengan segala prilakunya termasuk proses yang terjadi dalam diri siswa ketika belajar bahasa tidak bisa dipahami oleh linguistik, tetapi hanya bisa dipahami melalui ilmu lain yang berkaitan dengannya, yaitu Psikologi. Atas dasar hal tersebut muncullah disiplin ilmu yang baru yang disebut Psikolinguistik atau disebut juga dengan istilah Psikologi Bahasa.

Terkait dengan hal di atas, dapat dikatakan sebenarnya manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menyandi peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Keterkaitan Antara Bahasa dan Pikiran

Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran. Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran .Dengan kata lain, dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.

Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses baik berupa bahasa lisan maupun bahasa tulis, sebagaimana dikemukakan oleh Kempen (Marat, 1983: 5) bahwa Psikolinguistik adalah studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa, yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh seseorang, hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi. Karena itu, Slama (Pateda, 1990: 13) mengemukakan bahwa psycholinguistics is the study of relations between our needs for expression and communications and the means offered to us by a language learned in one’s childhood and later ‘psikolinguistik adalah telaah tentang hubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.

Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup Psikolinguistik yaitu penerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean, hubungan antara bahasa dan prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak. Berkaitan dengan hal ini Yudibrata, (1998: 9) menyatakan bahwa Psikolinguistik meliputi pemerolehan atau akuaisisi bahasa, hubungan bahasa dengan otak, pengaruh pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan encoding (proses mengkode) dengan decoding (penafsiran/pemaknaan kode), hubungan antara pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa).

Manusia sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi.

Istilah cognitive berasal dari cognition yang padanannya knowing berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan.. (Neisser dalam Syah, 2004:22). Dalam perkembangan selanjutnya istilah kognitiflah yang menjadi populer sebagai salah satu domain, ranah/wilayah/bidang psikologis manusia yang meliputi perilaku mental manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah, pengolahan informasi, kesengajaan, dan keyakinan. Menurut Chaplin (Syah, 2004:22) ranah ini berpusat di otak yang juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa.

Ranah kognitif yang berpusat di otak merupakan ranah yang yang terpenting Ranah ini merupakan sumner sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yaitu ranah efektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini Syah (2004: 22) mengemukakan bahwa tanpa ranah kognitif sulit dibayangkan seseorang dapat berpikir. Tanpa kemampuan berpikir mustahil seseongr tersebut dapat memahami dan meyakini faedah materi-materi yang disajikan kepadanya.

Afektif adalah ranah psikologi yang meliputi seluruh fenomena perasaan seperti cinta, sedih, senang, benci, serta sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan, psikomotor adalah ranah psikologi yang segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitas maupun kualitasnya karena sifatnya terbuka (Syah, 2004: 52).

Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran.

B. Konsep Saphir-Whorf Tentang Bahasa Dan Pikiran

Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.

1. Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.

2. Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.

Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini :

“Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting.

Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat, 1999).

C. Kompleksitas dalam Ujaran dan Pikiran

Pada umumnya suatu pemikiran yang kompleks dinyatakan dalam kalimat yang kompleks pula. Hal ini, dapat diartikan pula apabila dalam mengungkapkan sebuah kalimat, dibutuhkan pemikiran yang kompleks. Kompleksitas makna dalam kalimat yang kompleks muncul, karena dalam kalimat tersebut terdapat proposisi yang jumlahnya sangat banyak. Dalam penerapan proposisi-proposisi tersebut dapat bertindak sebagai anak kalimat yang menjadi pelengkap untuk kalimat induk, selain itu, kalimat itu dapat diperpanjang selama setiap akhir dari kalimat tersebut adalah nomina.

Kompleksitas makna dapat terwujud dalam bentuk-bentuk lain, salah satu penyebabnya adalah karena keadaan. Menurut kalian psikolinguistik, hal ini terbagi menjadi dua, yakni netral (unmarked) dan tak netral (marked). Seperti terlihat pada contoh berikut :

  1. UNS mempunyai 120.000 mahasiswa yang terbagi menjadi 9 fakultas.
  2. UNS mempunyai 70.000 mahasiswi.

Kata mahasiswa pada (a) bersifat netral, karena kata mahasiswa mempunyai arti luas, yakni semua pelajar baik laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada (b) mempunyai makna pelajar perempuan saja, pada makna ini disebut tak netral, karena telah mengerucut pada salah satu kelompok jenis kelamin saja.

Dalam sebuah kalimat yang menggunakan bahasa Inggris, netral dan tak netral akan lebih mudah untuk dijelaskan, seperti pada kalimat berikut ini:

  1. How tall is your daughter?
  2. How short is your daughter?

Dalam kalimat tersebut jika ditanyakan pada seseorang maka lebih mudah untuk menjawab pertanyaan (a) daripada (b), karena kalimat (a) mempunyai sifat netral. Dalam pembelajaran psikolinguistik konsep netral (unmarked) umumnya merujuk pada makna positif. Dalam bahasa Inggris, kata-kata netral mempunyai sisi kebalikannya, misal happy menjadi unhappy. Sedangkan pada kata tak netral, misal sad, tidak dapat kita membuat sisi positifnya.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran. Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran .Dengan kata lain, dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.

Manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menyandi peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Rakhmat. 1999. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.

Samsunuwiyati Marat. 1983. Psikolinguistik. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.

Soenjono Dardjowidjojo. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sri Utari Subiyakto Nababan. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tadkirotun Musfiroh. 2002. Pengantar psikolinguistik. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.

Yudibrata, dkk. 1998. Psikolinguistik. Jakarta: Depdikbud PPGLTP Setara D-III

readmore »»

Artikel Sastra Anak

.
0 komentar

Pengaruh Aspek Psikopedagogik dalam Sastra Anak

Arifah Primadiaty T.

PENDAHULUAN

Rentang kehidupan manusia dibagi ke dalam beberapa tahapan. Dimulai dengan

periode pranatal, masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa

usia pertengahan, hingga berakhir pada masa lanjut usia. Pembagian tahapan ini

didasari bentuk-bentuk perkembangan dan pola perilaku yang khas bagi usia tertentu. Setiap individu melalui satu periode dan kemudian berkembang menuju periode sesudahnya.

Perkembangan yang ditandai dengan perubahan tersebut menuntut kesadaran individu atas perubahan yang terjadi pada dirinya, sehingga dia mampu bersikap dengan jelas terhadap perubahan-perubahan tersebut. Perkembangan dalam hal ini merupakan serangkaian perubahan progresif sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.

Sebuah fakta penting yang harus diketahui dalam kaitannya dengan perkembangan individu adalah bahwa setiap tahapan perkembangan memiliki pola perilaku yang khas. Pola tersebut ditandai dengan periode equilibrium, yaitu periode ketika individu dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan dan kemudian berhasil membuat penyesuaian diri dan penyesuaian sosial yang baik. Periode ini kemudian diikuti oleh periode disequilibrium, yaitu periode ketika individu mengalami kesulitan penyesuaian yang menimbulkan penyesuaian diri dan sosial yang buruk. Kedua periode tersebut terdapat dalam semua tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dijalani atau dilalui. Tugas perkembangan mengisyaratkan tiga macam tujuan yang berguna, yaitu :

§ Sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat.

§ Sebagai motivasi untuk melakukan apa yang diharapkan oleh kelompok social.

§ Sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang akan mereka hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dari mereka (Hurlock, 1989 : 9).

PEMBAHASAN

Perkembangan masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku individu. Hal ini menyebabkan banyak tekanan yang mengganggu mereka. Kesulitan dalam penerimaan diri, bila keadaan fisik tidak sesuai dengan keinginan menuntut suatu konsep diri yang berbeda serta pengetahuan cara memperbaiki penampilan diri. Selain itu peran seks memerlukan penyesuaian diri selama bertahun-tahun serta kesadaran untuk menerima peran tersebut. Kesadaran akan peran seks berhubungan dengan situasi baru di mana para remaja harus mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis untuk mengetahui siapa mereka serta bagaimana harus bergaul dengan mereka. Sulitnya mengembangkan hubungan baru yang matang dengan lawan jenis kemudian akan menimbulkan masalah dan menuntut penyesuaian diri.

Penyesuaian diri juga harus dilakukan dalam kaitannya dengan kemandirian emosional yang diinginkan remaja. Di satu sisi mereka ingin mandiri, namun di sisi lain mereka masih mengharapkan rasa aman yang dapat mereka peroleh dari ketergantungan emosi pada orang tua atau orang dewasa lainnya. Di sini terlihat betapa peran orang tua sangat penting untuk membantu dan membimbing remaja dalam memahami dirinya serta dalam menghadapi perubahan yang terjadi selama tahapan peralihan ini. Selain orang tua, sekolah adalah pihak yang berperan penting karena sekolah berfungsi untuk membantu perkembangan keterampilan intelektual dan konsep yang penting bagi kecakapan sosial. Selain itu, sekolah juga membentuk nilai-nilai yang sesuai dengan nilai-nilai dewasa yang berlaku, misalnya nilai-nilai tanggung jawab.

Masa remaja juga ditandai dengan perubahan-perubahan besar dan sangat berarti dalam diri individu, yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik, emosi, sosial, dan intelektual. Secara garis besar Elizabeth Hurlock membagi perubahan tersebut menjadi lima perubahan universal, yaitu :

§ Meningginya emosi dengan intensitas yang bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.

§ Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial yang kemudian menimbulkan masalah baru bagi remaja.

§ Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan pada nilai-nilai yang dianut.

§ Sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, sekaligus takut akan tanggung jawab dan ragu akan kemampuan mereka untuk mengatasi tanggung jawab tersebut (Hurlock, 1989 : 208).

Perubahan-perubahan yang terjadi selama periode negatif tersebut melahirkan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, tidak dapat dipercaya, dan cenderung merusak dan berperilaku merusak. Stereotip ini sangat mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri dan membuat proses peralihan ke masa dewasa menjadi sulit bagi si remaja. Hal ini dipersulit dengan banyaknya tekanan moral dan kultur yang bertentangan.

Masalah remaja dan pencarian identitas diri ini sering menjadi tema menarik untuk dibahas. Banyak penelitian telah dilakukan, misalnya dalam bidang psikologi, sosial, pendidikan, dan sastra. Mengapa sastra? Karena sastra adalah gambaran dari masyarakat, kehidupan, dan seluruh permasalahannya. Dengan sifat mimetisnya, sebuah karya sastra memotret manusia dan kehidupannya untuk kemudian dipahami oleh pembacanya sebagai upaya untuk memahami manusia dan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pandangan Horatius bahwa sastra harus bertujuan dan berfungsi utile et dulce (bermanfaat dan indah). Bermanfaat karena pembaca dapat menarik pelajaran yang berharga dalam membaca karya sastra, yang mungkin bisa menjadi pegangan hidupnya karena mengungkapkan nilai-nilai luhur.

Mungkin juga karya sastra mengisahkan hal-hal yang tidak terpuji, namun pembaca masih bisa menarik pelajaran, sebab dalam membaca dan menyimak karya sastra pembaca dapat ingat dan sadar untuk tidak berbuat demikian. Selain itu, sastra harus bisa memberi nikmat melalui keindahan isi dan keindahan bahasanya (Pradotokusumo, 2005 : 6). Berkat keindahannya, karya sastra dianggap menampilkan kualitas estetis yang paling beragam sekaligus paling tinggi.

Aspek estetis karya sastra dihasilkan oleh keragaman genre yang bersifat dinamis, ketakterbatasan cerita yang dihasilkan yang tergantung pada kemampuan pengarang dan pembaca untuk menciptakan dan menafsirkannya, serta bahasa sebagai medium karya sastra yang memiliki kemampuan untuk berkembang secara tak terbatas, yang tergantung pada kemampuan imajinasi pembaca (Ratna, 2007 : 289 - 290).

Aspek estetis akan tampak bila pembaca mampu melihat dan menikmatinya. Kepekaan pembaca akan membuat kehidupan ini penuh makna, akan melihat betapa setiap ciptaan Tuhan berfungsi. Tugas manusialah untuk memanfaatkan semua itu. Sebaliknya tanpa kemampuan untuk melihat keindahan, semua hal menjadi tak bermakna, sehingga hidup menjadi hampa. Estetika mempengaruhi manusia melalui kesadaran total proses psikologis. Mencermati pentingnya estetika dalam kehidupan manusia, maka Mukarovsky (Ratna, 2007 : 291) menyebutkan tiga fungsi, yaitu :

§ Membangkitkan rasa bahagia, tenteram, dan damai

§ Mendominasi pusat perhatian pada saat tertentu, sekaligus mengabaikan perhatian lain yang pada saat itu tidak diperlukan

§ Mengganti fungsi lain yang sudah usang

Ketika berbicara aspek estetis, maka terlihat bahwa pembaca memiliki peran yang penting. Aliran postrukturalisme memberikan kedudukan terhormat kepada pembaca, sehingga pembaca seolah-olah menjadi penulis (writterly). Hal ini menjadi dasar bagi perkembangan estetika resepsi, yaitu aspek-aspek keindahan yang timbul sebagai akibat pertemuan antara karya sastra dengan pembaca. Sebuah karya sastra mempertemukan aspek estetika dengan etika. Dengan kekuatan aspek estetis, aspek etis secara tidak langsung masuk di dalamnya.

Sebuah karya sastra memuat nasihat, teladan, pendidikan, dan pengajaran, yang kesemuanya disampaikan secara tidak langsung. Untuk memanipulasi ciri-ciri etis suatu karya sastra, bahasa berperan penting. Penggunaan metafora, makna konotatif, dan aspek stilistika membuat pembaca melihat aturan dan norma semata sebagai keindahan. Dengan kekuatan bahasa, karya sastra dianggap lebih mampu mengubah tingkah laku manusia dibandingkan hukum formal.

Keindahan sastra diharapkan dapat mengarahkan manusia untuk berperilaku estetis, sehingga kehadirannya akan memperoleh makna yang positif dalam masyarakat. Karya sastra harus berfungsi membangun kehidupan sosial, menciptakan energi baru, serta melahirkan pola dan struktur yang baru. Jadi sastra dan keindahannya akan memberikan manfaat kepada umat manusia. Manfaat sastra tidak hanya dapat dirasakan oleh orang dewasa, namun juga

oleh anak-anak. Manfaat pertama yang dirasakan oleh anak-anak adalah kesenangan. Namun, lebih jauh lagi, mereka dapat memperoleh manfaat lain, yaitu :

§ Karya sastra adalah sumber utama untuk mengenali warisan kesusastraan dari generasi ke generasi.

§ Dengan memahami dan menikmati karya sastra, maka sastra berperan dalam pemahaman dan penilaian terhadap warisan budaya.

§ Pengembangan perilaku positif terhadap budaya sendiri sekaligus budaya lain yang sangat penting bagi perkembangan sosial dan personal. Karya sastra membangun pemahaman dan pengertian antarbudaya.

§ Melalui karya sastra anak-anak melihat bagaimana tokoh menangani masalah yang dihadapi. Proses identifikasi dengan tokoh membuat mereka kemudian akan dapat mengatasi masalahnya sendiri. Selain itu mereka juga akan memahami perasaan orang lain.

§ Karya sastra merupakan pintu menuju pengetahuan dan pengembangan minat.

§ Karya sastra memperkaya dan memperluas imajinasi, sekaligus estetika.

§ Karya sastra membantu perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan kepribadian, dan perkembangan sosial anak. (Norton, 1983 : 5)

Ketika timbul kesadaran bahwa anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa, maka mereka memerlukan karya sastra yang khusus diperuntukkan bagi mereka. Kemudian sebuah genre sastra baru mulai dikenal, yaitu sastra anak (Children’s literature, littérature de jeunesse). Hunt (Nurgiyantoro, 2005 : 8) mendefinisikan sastra anak sebagai buku bacaan yang dibaca oleh, yang secara khusus cocok untuk, dan yang secara khusus pula memuaskan sekelompok anggota yang kini disebut anak.

Jadi sastra anak adalah buku bacaan yang sengaja ditulis untuk dibaca anak-anak. Isi buku tersebut harus sesuai dengan minat dan dunia anak-anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosional dan intelektual anak, sehingga dapat memuaskan mereka. Salah satu jenis sastra anak yang dikenal adalah bildungsroman (dalam bahasa Perancis dikenal dengan sebutan roman de formation) yang lahir di Jerman pada masa sastrawan besar Johann Wolfgang von Goethe. Bildungsroman memiliki tema perjalanan evolutif tokoh utama dalam menjadi manusia yang ideal dan berpengetahuan luas.

Tokoh protagonis melalui suatu proses evolusi dan pada saat yang sama harus berhadapan dengan dunia dan permasalahannya. Tokoh yang masih muda, naif, dan penuh dengan idealisme harus menghadapi dunia nyata yang berbeda dengan yang dibayangkannya. Hal ini kemudian menimbulkan pertentangan antara jiwa yang idealis dengan kenyataan yang berlawanan. Sebagai konsekuensinya muncullah ketidakpahaman dan penolakan baik dari si tokoh maupun dari lingkungannya. Dari sini terjadi proses evolutif dan edukatif di mana tokoh memperoleh pengalaman konkret yang akan membuatknya dewasa dan matang. Perjalanan protagonis pada umumnya berakhir dengan keadaan yang harmonis dan seimbang

dengan dunia sekitarnya. Tokoh utama akhirnya dapat berdamai dengan dunia dan menemukan tempatnya, sehingga dia menjadi bagian dari dunia yang dahulu ditolaknya.

Dalam genre bildungsroman, konsep formasi atau pendidikan memegang peranan penting. Proses formasi atau pendidikan ini tidak hanya terjadi dalam dunia tokoh cerita, melainkan juga, diharapkan, terjadi pada diri pembacanya. Dari uraian di atas terlihat bahwa karya sastra memiliki muatan pendidikan, dan sebaliknya, dunia pendidikan juga memerlukan sastra sebagai wahana pendidikan. Jadi, pendidikan dan sastra merupakan dua aspek yang saling menunjang. Oleh karena itu, pengajaran sastra di institusi pendidikan tidaklah dapat dipandang remeh. Melalui pengajaran sastra, sesungguhnya kita telah dibawa ke tingkat manusia terdidik, yaitu manusia yang mampu berpikir tentang hidup, pandai memahami rahasia hidup, menghayati kehidupan dengan arif, dan mempertajam pengalaman-pengalaman baru. Melalui pengajaran sastra pula, peserta didik akan mampu memahami diri secara individu dan kelompok, sehingga akan menjadi manusia yang utuh, bermental baik, dan humanis (Endraswara, 2005 : 53).

KESIMPULAN

Jadi pengajaran sastra melibatkan pendidikan kejiwaan sekaligus kemanusiaan. Pengajaran sastra seharusnya bertumpu pada pembinaan apresiasi, sehingga peserta didik akan mampu menerima, memahami, menghayati, merespon, dan mereaksi karya sastra. Pada akhirnya mereka akan mampu menginterpretasikan sastra atas dasar pengalamannya. Untuk sampai pada kemampuan apresiatif, diperlukan beberapa langkah, yaitu :

§ Keterlibatan jiwa. Melalui perasaan empati dan simpati terhadap karya sastra, pembaca akan mampu menginternalisasi tokoh, peristiwa, dan karakter sesuai dengan pengalaman pribadinya.

§ Penghayatan sejati terhadap karya sastra dengan memasuki cipta sastra secara inten, menikmatinya dengan kedalaman jiwa dan imajinasi.

§ Pengimplentasian pengalaman yang ada dalam karya sastra dengan kehidupan nyata, sehingga sebuah karya sastra menjadi bermakna dan kontekstual (Endraswara, 2005 : 78 -79).

Sebagai jalur penting dalam pengajaran sastra, Loban (Endraswara, 2005 : 103) mengemukakan bahwa apresiasi harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu :

§ Apresiasi sastra harus mampu berpengaruh pada kejiwaan individu

§ Individu mampu merespon pada karya yang sedang dinikmati, baik secara emosional maupun secara intelektual

§ Kegunaan sastra sampai pada lahirnya pemahaman diri sendiri.

§ Karya sastra harus memberikan imajinasi yang mampu menghadirkan pengalaman sastra yang menakjubkan.

§ Kapasitas sastra dalam menyerap pikiran dan emosi akan menyadarkan pembacanya ke arah hidup yang sejati.

Aspek apresiatif mengarahkan kita pada pemahaman bahwa pengajaran sastra seharusnya mengarah pada aspek pragmatis, yaitu kegunaan atau fungsi sastra bagi peserta didik. Terdapat dua fungsi pokok pengajaran sastra, yaitu: pemerolehan kompetensi pada tataran pengalaman yang akan memungkinkan peserta didik mengakses berbagai hal lewat pembacaan karya sastra, dan pemerolehan gambaran dan penjelasan secara luas dari pengalaman itu sendiri.

readmore »»
 

Followers

About Me

Foto saya
I'm a happy-go-lucky gal ... Wanna share all bout kpop... I'm ELF, who loved Kyuhyun so deep.